Jumat, 21 Maret 2014

ILMU JARH DAN TA’DIL


A.  Pengertian jarh
Lafadz Jarh secara etimologi adalah melukai badan hingga mengeluarkan darah. Menurut terminologi ilmu hadis, kata al jarh berarti upaya mengungkap sifat-sifat tercela dari periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau tertolakya riwayat yang disampaikan
Al Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
Menurut Asy Syaikh Manna' Al Qaththan, Al Jarh adalah terlihatnya sifat pada seseorang perawi yang dapat menjatuhkan ke adilannya, merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya hingga kemidian ditolak.
Menurut para muhadditsin jarh ialah sifat seorang rawi yang dapat mencecatkan keadilan dan hafalannya, menunjukkan atau membayangkan kelemahan seorang rawi. Menjarh atau mentajrih seorang rawi berarti menyipati rawi tersebut dengan sifat-sifat yang menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang diriwayatkannya.


B.  Pengertian ta’dil
Secara bahasa ta’dil berarti mengemukakan sifat – sifat adil yang dimiliki seseorang. Dalam terminology ilmi hadis, kata at-ta’dil berarti upaya mengungkap sifat-sifat bersih dari seorang periwayat hadis sehingga nampak keadilan (adalah)nya yang menyebabkan diterimanya riwayat yang disampaikan.
Menurut Asy Syaikh Manna' Al Qaththan, At Ta'dil adalah penshihatan dengan sifat yang mensucikannya, sehingga tampak keadilannya, dan diterima beritanya.
Ta’dil ialah menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang menodai agama dan keperwiraannya. Dengan memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi sehingga apa yangdiriwayatkannya dapat diterima.
Rawi yang dikatakan adil adalah orang yang dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya. Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang diriwayatkannya dapat diterima disebut menta'dilkannya.

C.  Pengertian jarh dan ta’dil
Jarh dan ta’dil Adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib (cacat) atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi. Ilmu Al Jarh wa Al Ta’dil adalah “timbangan” bagi para rawi hadits, yakni diterima atau ditolak riwayatnya. Jadi Al jarh berarti menilai kelemahan-kelemahan yang terdapat pada diri seorang perawi hadits, sedangkan Ta’dil adalah menilai kebaikan-kebaikan yang ada pada diri seorang perawi hadits. Maka, Ilmu Jarah wa Ta’dil, adalah ilmu yang digunakan oleh para ulama terdahulu untuk menilai derajat para perawi (periwayat hadits).
Pengetahuan tentang ilmu ini adalah untuk mengetahui dan menetapkan apakah periwayatan seorang rawi dapat diterima atau tidak. Apabila diketahui kecacatan, baik keadilan maupun hafalan, maka periwayatannya harus ditolak, begitu pula sebaliknya.
Musthafa Al Siba’i berpendapat bahwa Jarh dan Ta’dil adalah ilmu hadits yang secara khusus membicarakan tentang sisi negatif dan positif perawi hadits. Artinya, periwayat hadits dari masing-masing thobaqat diteliti secara mendetail, apakah perawi itu dapat dipercaya atau tidak (amanah), handal (tsiqat), adil (’adalah), dan tegar (dlabith), atau sebaliknya, sampai di mana perawi itu berbohong, lalai atau pelupa.Menurut Ajaj Al Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat mereka. Secara lebih tegas lagi Abd al Rahman ibn Abi Hatim Al Razi mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Jarh dan Ta’dil para perawi dengan menggunakan lafadz-lafazd tertentu dan membahas pula tentang tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu Jarh wa Ta’dil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijalul Hadits.
Terlepas dari skursus ini, pada dasarnya diantara nuqad (kritikus) hadits sepakat bahwa yang dimaksud dengan Ilmu Jarh wa Ta’dil/ ilmu kritik hadits ialah ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi dengan maksud dan tujuan yang sama yaitu memurnikan hadits.
Para ulama membolehkan Jarh wa Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.

D. Obyek Pembahasan
Objek yang terpenting dalam penelitian hadits adalah terhadap sejumlah periwayat yang mentransformasikan riwayat hadits (kualitas sanad) dan materi hadits (matan hadits).
1.    Kritik Sanad
Adalah mempelajari rangkaian periwayatan hadits dengan cara mengetahui biografi masing-masing perawi, dipelajari juga tingkat kekuatan dan kelemahan perawi dalam mengingat hadits, sebab-sebab yang memungkinkan seseorang disebut kuat atau lemah. Kritik sanad beratti juga menjelaskan muttasil dan munqati perawi dalam rangkaian sanad. Mencakup dua hal yaitu tingkat intelektual rawi dan mekanisme isnadul khabar.
Dalam aspek sanad yang harus diperhatikan dalam kualitas dan kuantitas sanadnya meliputi: sanadnya bersambung, rawinya adil, dlabit, terhindar dari syadz dan tidak ber-illah. Kelima aspek tersebut adalah sebagai sumber adanya kepastian validitas suatu proses transformasi  hadits. Dengan demikian kritik sanad hadits ialah penelitian, penilaian, dan pelurusan sanad hadits tentang individu perawi dan proses penerimaan hadits dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadits (sahih, hasan dan dhaif).
2.   Kritik Matan Hadits
Adalah proses lanjutan dari kritik terhadap sanad. Studi ini merupakan konsekuensi logis yang sulit untuk dihindari. Kedua metode ini berjalan seirama karena sama-sama membersihkan hadits dari berbagai kemungkinan yang tidak benar. Kritik sanad bertujuan untuk melihat validitas dan kapabilitas menyangkut tingkat ketakwaan dan intelektualitas perawi hadits serta mata rantai periwayatannya, sedangkan kritik matan bertujuan untuk menyelidiki isi atau materi hadits.
Kritik matan dilakukan untuk melihat sejauh mana orsinilitas materi yang telah dikemukakan. Untuk itu, terdapat langkah-langkah dalam melakukan kritik terhadap matan. Langkah-langkah itu adalah:
a.    Meneliti susunan kalimat yang semakna.
b.   Meneliti kandungan matan.
c.    Meneliti matan mesti diawali dengan melihat kualitas sanad.

E.  Syarat Ulama jarh dan ta’dil
1.   Beriman, bertaqwa, wara’, berilmu dan jujur.
2.   Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil.
3.   Mengetahiu penggunaan Bahasa Arab.
Syarat-syarat tersebut nampaknya diperlukan agar orang tidak mudah memberikan penilaian dengan kehendak hatinya atau dapat juga dimaksudkan untuk menjaga hadits. Artinya, hadits eksistensinya terlindungi dari hasrat seseorang yang merasa dirugikan, sehingga ia mencari-cari kelemahan hadits.

F.  Cara Melakukan jarh dan ta’dil
1.   Bersikap jujur dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz Al Khatib mengatakan: “ Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa menyebutkan kebaikannya”
2.   Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha'ifnya suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak kuat hafalannya.
3.   Tetap menjaga batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup mengatakan: “ Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
4.   Bersifat Global dalam menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Dalam menta’dil, misalnya Cukup mereka mengatakan “si fulan tsiqah atau ‘adil”. Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan Al Jarh, umumnya sebab-sebab Al Jarhnya disebutkan misalnya si “fulan itu tidak bisa diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan lain sebagainya”.

G. Sebab-sebab Tertolalnya Periwayatan
Ketidakabsahan dan tertolaknya periwayatan perawi disebabkan karena :
1.    Bid’ah (melakukan tindakan tercela yaitu menyalahi syara')
Orang yang disifati dengan Bid'ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan adakalanya tergolong orang yang difasiqkan. Mereka yang dianggap kafir adalah golongan rafidlah, yang mempercayai bahwa tuhan itu menyusup (bersatu) pada sayyidina ali dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ali akan kembali lagi ke dunia sebelum hari kiamat. Sedang orang-orang yang dianggap fasiq adalah golongan yang mempunyai i'tiqat berlawanan dengan dasar syari'at.
2.   Mukhalafah (periwayatannya berlawanan dengan periwayat yang baik)
Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits ialah apabila seorang rawi yang setia ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits berlawanan dengan riwyat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan dengan kebanyakan orang. Yang kedua , periwayatan tersebut tidak dapat dijama'kan. Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan jika rawinya sangat lemah hafalannya, maka periwayatanya (haditsnya) disebut munkar.
3.   Ghalat (banyak kekeliruan dalam meriwayatkan hadis)
Ghalath (salah) itu kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit.Seorang rawi yang disifati banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadits-hadits yang telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan orang lain yang tidak disifati dengan ghalath, maka hadits yang diriwayatkan oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan sanadnya. Sedangkan bila tidak didapati selain dengan jalan sanadnya, hendaklah ditawaqufkan.
4.   Jalahatul Hal (identitasnya tidak terkenal)
Jahalatul Hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan pantangan untuk diterima haditsnya, selama belum jelas identitasnya. Apabila sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang tehal mengenalnya, karena ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya (menafi'kannya). Da'wal inqitha (pandakwaan terputus) dalam sanad, misalnya menda'wa rawi mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
5.   Da’wal Intiqitha’ (sanadnya diduga keras terputus)

H.Susunan lafal yang digunakan untuk melakukan jarh dan ta’dil
1.    Lafal jarh
a.    Menilai lunak atau rendah dan hal ini menunjukkan yang paling ringan kejelekannya. Seperti: fulanun layyin al-hadits, fihi tsiqal, fi haditsihi dha’if dan lain-lain.
b.   Sesuatu yang ditegaskan dengan tidak ada hujah atau yang menyerupainya seperti: dha’ifun, lhu manakir dan lain-lain.
c.    Lafadz yang terng-terangan melarang haditsnya ditulis atau yang lainnya. Seperti: dha’Ifun jiddan, fulanun la yuktabu haditsuhu dan lain-lain.
d.   Lafadz yang menunjukkan tuduhan berdusta seperti: laisa bi tsiqqah,yaskuru al-hadits dan lain-lain.                                                                                  
e.    Lafadz yang menunjukkan rawi disifati berdusta seperti: fullanun kaddzab, yakdzibu, dan lain sebagainya.
f.     Lafadz yang menunjukkan keterlaluan berdusta, seperti: fulanun akdzaba al nass.
Perawi yang berada pada dua tingkat pertama (no.1 dan 2), sudah tentu tidak dapat dijadikan hujjah. Hadits mereka ditulis hanya untuk i’tibar. Adapun sisanya, diterima juga tidak ditulis untuk dijadikan i’tibar. Karena hadits ini tidak kuat dan tidak dapat menguatkan hadita lainnya.
2.   Lafal ta’dil
a.    Lafadz yang menunjukkan shigat mubalghah (paling puncak) dalam tausik atau atas dasar wajan af’ala yang merupakan shighat paling tinggi. 
b.   Lafadz yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari sifat tsiqat. Seperti: Tsiqatun-tsiqatun, tsiqat-tsabit, tsiqat-hujjah dan lain-lain.
c.    Lafadz yang menunjukkan pada satu sifat atas tsiqat tanpa ada penjelas. Seperti: tsiqat, hujjah.
d.   Lafadz yang menunjukkan pada ta’dil tapi tanpa menunjukkan adanya dlabith. Seperti: la ba`sa bihi.
e.    Lafadz yang menunjukkan pada dekatnya tajrih. Seperti; fulanun syaikhun.
Lafadz-lafadz pada no.1 dengan no. 3 rawinya dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian dari mereka ada yang lebih kuat dari sebagian yang lainnya. Adapun no.4 dan 5 rawinya tidak boleh dijadikan hujjah. Tetapi terkadang hadits mereka ditulis untuk diuji, meskipun tingkatan keempat berbeda dengan tingkatan rawi yang kelima.

I.    Kitab-Kitab jarh dan ta’dil
1.    Kitab Jarh dan Ta’dil Secara Umum.
a.   Al Tarikh Al Kabir
Kitab ini adalah karya Imam Bukhari (194-256 H) yang disusun dalam bentuk yang besar, memuat 12.305 periwayat hadis. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama bapaknya. Imam Bukhari memulai pembahasannya dengan menyebutkan nama-nama Muhammad, karena nama Nabi Muhammad saw, seperti halnya beliau mendahulukan nama-nama sahabat dalam setiap nama periwayat tanpa memperhatikan nama bapaknya. Kemudian baru menyebutkan seluruh nama periwayat dengan memperhatikan urutan nama bapaknya.
b.   Kitab Al Jarh wa al Ta’dil
Kitab ini adalah karya Abu Hatim Muhammad ibn Idris Al Razi (240-327 H), merupakan kitab jarh dan ta’dil dari ulama mutaqoddimin yang banyak isinya, memuat 18.050 periwayat hadis, terdiri dari atas delapan jilid beserta muqoddimahnya.
Dalam kitab ini, biografi periwayatan hadis ditulis secara singkat, hanya mencapai satu sampai lima belas baris dan disusun berdasrkan huruf hijaiyah dengan memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama bapaknya. Dimulai dari nama-nama sahabat pada tiap satu huruf dan nama-nama yang diulang-ulang, serta disebutkan pula nama kunyah dan nisbatnya, Negara asal, tempat tinggal, aqidah serta kadang-kadang siebutkan juga atahun wafatnya. Sedikit sekali dikemukakan hadis yang diriwayatkannya.
2.   Kitab Jarh dan Ta’dil Mengenal Periwayat-periwayat Siqat
a.   Kitab Al Siqat
Kitab ini adalah karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busti (w. 354 H), yang disusun berdasarkan tabaqat (tingkatan) sesuai dengan huruf hijaiyah, dalam tabaqat itu dan disajikan dalam tiga juz, juz pertama untuk tabaqat sahabat, juz kedua untuk tabaqat tabi’in dan juz ketiga untuk tabaqat ‘atba’ tabi’in
Menurut al-Kattani dalam kitab ini ibn Hibban banyak menyebutkan periwayat yang majhul yang hanya dikenal keadaannya. Dan penilaian siqatnya yang hanya tersebut dalam kitab ini menempati urutan yang paling rendah. Karena menurutnya, adil adalah orang yang tidak diketahui cactnya, karena cacat adalah kebalikan dari adil. Orang yang tidak diketahui cacatnya adalah adil sampai diketahui cacatnya.
b.   Tarikh Asma’al Al Siqat min Man Nuqila Anhu Al Ilm
Kitab ini disusun oleh Umar ubn Hamad ibn Syahin (w. 385 H), berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan hanya menyebutkan nama periwayat dan nama bapaknya, serta pendapat ahli jarh dan ta’dil mengenai periwayatan itu. Kadang-kadang juga disebutkan sebagian guru dan muridnya.
3.   Kitab Jarh dan Ta’dil Mengenai Periwayatan Daif
a.   Al du’afa’ Al Kabir dan Al Du’afa’ Al Sagir
Kedua kitab ini karya Imam Bukhari yang termasuk kitab jarh dan ta’dil paling tua yang sampai kepada kita. Kitab ini berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan hanya memperhatikan huruf pertama pada setiap nama periwayat.
b.   Al Du’afa’ wa Al Matrukin
Kitab ini karya Imam An Nasa’i (215-303 H.), disusun berdasarkan ururtan huruf mu’jam dengan hanya memperhatikan huruf pertama pada setiap nama periwayat.
c.   Ma’rifat a’Majruhin min Al Muhaddisin
Kitab ini karya ibn Hibban yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam, diawali dengan muqoddimah kitab yang berisi tentang pentingnya mengetahui periwayat daif, bolehnya menilai cacatnya periwayat, dan yang berhubungan dengan hal itu.

d.   Al Kamil fi Du’afa’ Al Rijal
Kitab ini karya Imam Abu Ahmad Abdullah ibn Adi al-Jurjani (w. 356 H), merupakan kitab yang besar dan luas, memuat biografi periwayat yang masih dibicarakan kualitasnya, meski menurut pendapat yang tertolak. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam serta dimulai dengan muqaddimah kitab yang panjang lebar.
e.   Mizan Al Itidal fi Naqd Al Rijal
Kitab ini karya Abu Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad ibn Usman Al-zahabi (w. 748 H). Sebagaimana dikatakan ibn Hajar  kitab ini menghimpun 11.053 biografi periwayat yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan nama periwayat dan bapaknya. Dalam kitab ini yang pertama disebut adalah nam periwayat yang dikenal dengan nama bapaknya, nisbat atau laqobnya, periwayat laki-laki yang tidak dikenel namanya, periwayat perempuan yang tidak dikenal nama aslinya,n nama kunyah perempuan, kemudian periwayat perempuan yang disebut nama aslinya.
f.     Lisan Al Mizan
Kitab ini karya Ibnu Hajar Al Asqalani yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam yang dimulai dari nama asli, nam kunyah, kemudian periwayat yang mubham, yang terbagi menjadi tiga pasal, pasal pertama tentang periwayat yang menguunakan nasab, kedua periwayat yang terkenal dengan nama kabilah atau pekerjaannya, dan ketiga tentang periwayat yang berdasarkan pada nama lain


Tidak ada komentar:

Posting Komentar