A. Pengertian
jarh
Lafadz Jarh secara etimologi adalah melukai badan hingga mengeluarkan darah. Menurut terminologi ilmu hadis, kata al jarh berarti upaya mengungkap sifat-sifat tercela
dari periwayat hadis yang menyebabkan lemah atau tertolakya riwayat yang
disampaikan
Al Jarh menurut istilah yaitu
terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya,
sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian
ditolak.
Menurut Asy Syaikh
Manna' Al Qaththan, Al Jarh adalah
terlihatnya sifat pada seseorang perawi yang dapat menjatuhkan ke adilannya,
merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya hingga
kemidian ditolak.
Menurut para muhadditsin
jarh ialah sifat seorang rawi yang
dapat mencecatkan keadilan dan hafalannya, menunjukkan atau membayangkan
kelemahan seorang rawi. Menjarh atau mentajrih seorang rawi berarti menyipati
rawi tersebut dengan sifat-sifat yang menyebabkan kelemahan atau tertolak apa
yang diriwayatkannya.
B. Pengertian
ta’dil
Secara bahasa ta’dil berarti mengemukakan
sifat – sifat adil yang dimiliki seseorang. Dalam terminology ilmi hadis, kata at-ta’dil berarti upaya mengungkap sifat-sifat bersih
dari seorang periwayat hadis sehingga nampak keadilan (adalah)nya yang menyebabkan diterimanya riwayat yang disampaikan.
Menurut Asy Syaikh Manna' Al Qaththan, At
Ta'dil adalah penshihatan dengan sifat yang mensucikannya, sehingga tampak
keadilannya, dan diterima beritanya.
Ta’dil ialah menunjukkan atau
membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi. Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat
mengendalikan sifat-sifat yang menodai agama dan keperwiraannya. Dengan
memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi sehingga apa
yangdiriwayatkannya dapat diterima.
Rawi yang dikatakan adil adalah orang yang
dapat mengendalikan sifat-sifat yang dapat menodai agama dan keperwiraannya.
Memberikan sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi, hingga apa yang
diriwayatkannya dapat diterima disebut menta'dilkannya.
C. Pengertian
jarh dan ta’dil
Jarh dan ta’dil Adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang
memberikan kritikan adanya aib (cacat) atau memberikan pujian adil kepada
seorang rawi. Ilmu Al Jarh wa Al Ta’dil adalah
“timbangan” bagi para rawi hadits,
yakni diterima atau ditolak riwayatnya. Jadi Al jarh berarti menilai kelemahan-kelemahan yang terdapat pada diri
seorang perawi hadits, sedangkan Ta’dil
adalah menilai kebaikan-kebaikan yang ada pada diri seorang perawi hadits.
Maka, Ilmu Jarah wa Ta’dil, adalah
ilmu yang digunakan oleh para ulama terdahulu untuk menilai derajat para perawi
(periwayat hadits).
Pengetahuan
tentang ilmu ini adalah untuk mengetahui dan menetapkan apakah periwayatan
seorang rawi dapat diterima atau tidak. Apabila diketahui kecacatan, baik
keadilan maupun hafalan, maka periwayatannya harus ditolak, begitu pula
sebaliknya.
Musthafa Al Siba’i berpendapat bahwa Jarh dan Ta’dil
adalah ilmu hadits yang secara khusus membicarakan tentang sisi negatif dan
positif perawi hadits. Artinya, periwayat hadits dari masing-masing thobaqat
diteliti secara mendetail, apakah perawi itu dapat dipercaya atau tidak (amanah),
handal (tsiqat), adil (’adalah), dan tegar (dlabith), atau
sebaliknya, sampai di mana perawi itu berbohong, lalai atau pelupa.Menurut Ajaj Al Khatib, Ilmu Jarh wa Ta’dil adalah suatu ilmu
yang membahas hal ikhwal para perawi dari segi diterima atau ditolaknya riwayat
mereka. Secara lebih tegas lagi Abd al Rahman ibn Abi Hatim Al Razi
mendefinisikan Ilmu Jarh wa Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang Jarh dan Ta’dil para perawi dengan
menggunakan lafadz-lafazd tertentu dan membahas pula tentang
tingkatan-tingkatan lafadz tersebut dan Ilmu
Jarh wa Ta’dil ini merupakan salah satu cabang dari ilmu Rijalul Hadits.
Terlepas dari skursus ini, pada dasarnya diantara nuqad (kritikus) hadits sepakat bahwa yang dimaksud
dengan Ilmu Jarh wa Ta’dil/ ilmu
kritik hadits ialah ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib
atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi dengan maksud dan tujuan yang
sama yaitu memurnikan hadits.
Para
ulama membolehkan Jarh wa Ta’dil
untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana
dibolehkan Jarh dalam persaksian,
maka pada perawi pun juga diperbolehkan, bahkan memperteguh dan mencari
kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
D. Obyek
Pembahasan
Objek yang terpenting
dalam penelitian hadits adalah terhadap sejumlah periwayat yang
mentransformasikan riwayat hadits (kualitas sanad) dan materi hadits (matan
hadits).
1.
Kritik Sanad
Adalah mempelajari
rangkaian periwayatan hadits dengan cara mengetahui biografi masing-masing
perawi, dipelajari juga tingkat kekuatan dan kelemahan perawi dalam mengingat
hadits, sebab-sebab yang memungkinkan seseorang disebut kuat atau lemah. Kritik
sanad beratti juga menjelaskan muttasil dan munqati perawi dalam
rangkaian sanad. Mencakup dua hal yaitu tingkat intelektual rawi dan mekanisme
isnadul khabar.
Dalam aspek sanad yang
harus diperhatikan dalam kualitas dan kuantitas sanadnya meliputi: sanadnya
bersambung, rawinya adil, dlabit, terhindar dari syadz dan tidak ber-illah. Kelima aspek tersebut adalah sebagai
sumber adanya kepastian validitas suatu proses transformasi hadits.
Dengan demikian kritik sanad hadits ialah penelitian, penilaian, dan pelurusan
sanad hadits tentang individu perawi dan proses penerimaan hadits dari guru
mereka masing-masing dengan berusaha menemukan kekeliruan dan kesalahan dalam
rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran, yaitu kualitas hadits (sahih, hasan
dan dhaif).
2.
Kritik Matan Hadits
Adalah proses lanjutan
dari kritik terhadap sanad. Studi ini merupakan konsekuensi logis yang sulit
untuk dihindari. Kedua metode ini berjalan seirama karena sama-sama
membersihkan hadits dari berbagai kemungkinan yang tidak benar. Kritik sanad
bertujuan untuk melihat validitas dan kapabilitas menyangkut tingkat ketakwaan
dan intelektualitas perawi hadits serta mata rantai periwayatannya, sedangkan
kritik matan bertujuan untuk menyelidiki isi atau materi hadits.
Kritik matan dilakukan
untuk melihat sejauh mana orsinilitas materi yang telah dikemukakan. Untuk itu,
terdapat langkah-langkah dalam melakukan kritik terhadap matan. Langkah-langkah
itu adalah:
a.
Meneliti susunan kalimat yang semakna.
b.
Meneliti kandungan matan.
c.
Meneliti matan mesti diawali dengan melihat kualitas
sanad.
E. Syarat
Ulama jarh dan ta’dil
1.
Beriman, bertaqwa,
wara’, berilmu dan jujur.
2.
Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil.
3.
Mengetahiu penggunaan Bahasa Arab.
Syarat-syarat tersebut
nampaknya diperlukan agar orang tidak mudah memberikan penilaian dengan
kehendak hatinya atau dapat juga dimaksudkan untuk menjaga hadits. Artinya,
hadits eksistensinya terlindungi dari hasrat seseorang yang merasa dirugikan,
sehingga ia mencari-cari kelemahan hadits.
F. Cara
Melakukan jarh dan ta’dil
1.
Bersikap jujur
dan proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya. Muhammad
Sirin seperti dikutip Ajaz Al Khatib mengatakan: “ Anda mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa
menyebutkan kebaikannya”
2.
Cermat dalam melakukan
penelitian. Ulama misalnya secara cermat dapat membedakan antara dha'ifnya
suatu hadits karena lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena
perawinya tidak kuat hafalannya.
3.
Tetap menjaga
batas-batas kesopanan dalam melakukan Jarh
dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam
etik ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan
ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama cukup
mengatakan: “ Tidak adanya keteguhan
dalam berbicara”
4.
Bersifat
Global dalam menta’dil dan terperinci
dalam mentajrih. Dalam menta’dil, misalnya Cukup mereka mengatakan
“si fulan tsiqah atau ‘adil”.
Alasannya tidak disebutkan karena terlalu banyak. Lain halnya dengan Al Jarh, umumnya sebab-sebab Al Jarhnya disebutkan misalnya si “fulan itu tidak bisa diterima haditsnya
karena dia sering teledor, ceroboh, leboh banyak ragu, atau tidak dhabit atau
pendusta atau fasik dan lain sebagainya”.
G. Sebab-sebab
Tertolalnya Periwayatan
Ketidakabsahan dan tertolaknya periwayatan perawi disebabkan karena :
1.
Bid’ah (melakukan tindakan tercela yaitu menyalahi syara')
Orang
yang disifati dengan Bid'ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan dan
adakalanya tergolong orang yang difasiqkan. Mereka yang dianggap kafir adalah
golongan rafidlah, yang mempercayai bahwa tuhan itu menyusup (bersatu) pada
sayyidina ali dan pada imam-imam lain, dan mempercayai bahwa ali akan kembali
lagi ke dunia sebelum hari kiamat. Sedang orang-orang yang dianggap fasiq
adalah golongan yang mempunyai i'tiqat berlawanan dengan dasar syari'at.
2.
Mukhalafah (periwayatannya berlawanan dengan periwayat yang baik)
Mukhalafah yang dapat menimbulkan kejanggalan dan kemungkaran suatu hadits ialah
apabila seorang rawi yang setia ingatannya dan jujur meriwayatkan suatu hadits
berlawanan dengan riwyat orang yang lebih setia ingatannya atau berlawanan
dengan kebanyakan orang. Yang kedua , periwayatan tersebut tidak dapat
dijama'kan. Periwayatan yang demikian ini disebut syadz, dan jika rawinya sangat lemah hafalannya, maka periwayatanya
(haditsnya) disebut munkar.
3.
Ghalat (banyak kekeliruan dalam
meriwayatkan hadis)
Ghalath (salah) itu
kadang-kadang banyak dan kadang-kadang sedikit.Seorang rawi yang disifati
banyak kesalahannya, hendaklah diadakan peninjauan mengenai hadits-hadits yang
telah diriwayatkannya. Kalau periwayatannya tersebut terdapat pada periwayatan
orang lain yang tidak disifati dengan ghalath, maka hadits yang diriwayatkan
oleh orang yang banyak salah tersebut dapat dipakai, tetapi bukan menurut jalan
sanadnya. Sedangkan bila tidak
didapati selain dengan jalan sanadnya, hendaklah ditawaqufkan.
4.
Jalahatul Hal (identitasnya tidak terkenal)
Jahalatul Hal (tidak diketahui identitasnya) merupakan
pantangan untuk diterima haditsnya, selama belum jelas identitasnya. Apabila
sebagian orang telah mengenal identitasnya dengan baik, kemudian orang lain
mengingkarinya, dalam hal ini didahulukan penetapan orang yang tehal
mengenalnya, karena ia lebih tahu daripada orang yang mengingkarinya
(menafi'kannya). Da'wal inqitha (pandakwaan terputus) dalam sanad, misalnya
menda'wa rawi mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.
5.
Da’wal Intiqitha’ (sanadnya diduga keras terputus)
H.Susunan lafal yang digunakan untuk melakukan jarh dan ta’dil
1.
Lafal jarh
a.
Menilai lunak atau rendah dan hal ini menunjukkan yang
paling ringan kejelekannya. Seperti: fulanun layyin al-hadits, fihi tsiqal,
fi haditsihi dha’if dan lain-lain.
b.
Sesuatu yang ditegaskan dengan tidak ada hujah atau yang
menyerupainya seperti: dha’ifun, lhu manakir dan lain-lain.
c.
Lafadz yang terng-terangan melarang haditsnya ditulis
atau yang lainnya. Seperti: dha’Ifun jiddan, fulanun la yuktabu haditsuhu dan
lain-lain.
d.
Lafadz yang menunjukkan tuduhan berdusta seperti: laisa
bi tsiqqah,yaskuru al-hadits dan lain-lain.
e.
Lafadz yang menunjukkan rawi disifati berdusta seperti: fullanun
kaddzab, yakdzibu, dan lain sebagainya.
f.
Lafadz yang menunjukkan keterlaluan berdusta, seperti: fulanun
akdzaba al nass.
Perawi yang berada pada
dua tingkat pertama (no.1 dan 2), sudah tentu tidak dapat dijadikan hujjah.
Hadits mereka ditulis hanya untuk i’tibar. Adapun sisanya, diterima juga
tidak ditulis untuk dijadikan i’tibar. Karena hadits ini tidak kuat dan
tidak dapat menguatkan hadita lainnya.
2.
Lafal ta’dil
a.
Lafadz yang menunjukkan shigat mubalghah (paling puncak) dalam tausik atau atas dasar wajan
af’ala yang merupakan shighat paling tinggi.
b.
Lafadz yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari
sifat tsiqat. Seperti: Tsiqatun-tsiqatun, tsiqat-tsabit, tsiqat-hujjah dan
lain-lain.
c.
Lafadz yang menunjukkan pada satu sifat atas tsiqat tanpa
ada penjelas. Seperti: tsiqat, hujjah.
d.
Lafadz yang menunjukkan pada ta’dil tapi tanpa
menunjukkan adanya dlabith. Seperti: la ba`sa bihi.
e.
Lafadz yang menunjukkan pada dekatnya tajrih. Seperti; fulanun
syaikhun.
Lafadz-lafadz pada no.1
dengan no. 3 rawinya dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian dari mereka ada
yang lebih kuat dari sebagian yang lainnya. Adapun no.4 dan 5 rawinya tidak
boleh dijadikan hujjah. Tetapi terkadang hadits mereka ditulis untuk diuji,
meskipun tingkatan keempat berbeda dengan tingkatan rawi yang kelima.
I.
Kitab-Kitab jarh dan ta’dil
1.
Kitab Jarh dan
Ta’dil Secara Umum.
a.
Al
Tarikh Al Kabir
Kitab
ini adalah karya Imam Bukhari (194-256 H) yang disusun dalam bentuk yang besar,
memuat 12.305 periwayat hadis. Kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf
mu’jam dengan memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama
bapaknya. Imam Bukhari memulai pembahasannya dengan menyebutkan nama-nama
Muhammad, karena nama Nabi Muhammad saw, seperti halnya beliau mendahulukan
nama-nama sahabat dalam setiap nama periwayat tanpa memperhatikan nama bapaknya.
Kemudian baru menyebutkan seluruh nama periwayat dengan memperhatikan urutan
nama bapaknya.
b.
Kitab
Al Jarh wa al Ta’dil
Kitab
ini adalah karya Abu Hatim Muhammad ibn Idris Al Razi (240-327 H), merupakan
kitab jarh dan ta’dil dari ulama mutaqoddimin yang banyak isinya, memuat 18.050
periwayat hadis, terdiri dari atas delapan jilid beserta muqoddimahnya.
Dalam
kitab ini, biografi periwayatan hadis ditulis secara singkat, hanya mencapai
satu sampai lima belas baris dan disusun berdasrkan huruf hijaiyah dengan
memperhatikan huruf pertama dari nama periwayat dan nama bapaknya. Dimulai dari
nama-nama sahabat pada tiap satu huruf dan nama-nama yang diulang-ulang, serta
disebutkan pula nama kunyah dan nisbatnya, Negara asal, tempat tinggal, aqidah
serta kadang-kadang siebutkan juga atahun wafatnya. Sedikit sekali dikemukakan
hadis yang diriwayatkannya.
2.
Kitab Jarh dan
Ta’dil Mengenal Periwayat-periwayat Siqat
a.
Kitab Al Siqat
Kitab
ini adalah karya Muhammad ibn Ahmad ibn Hibban al-Busti (w. 354 H), yang
disusun berdasarkan tabaqat
(tingkatan) sesuai dengan huruf hijaiyah, dalam tabaqat itu dan disajikan dalam
tiga juz, juz pertama untuk tabaqat sahabat, juz kedua untuk tabaqat tabi’in
dan juz ketiga untuk tabaqat ‘atba’ tabi’in
Menurut
al-Kattani dalam kitab ini ibn Hibban banyak menyebutkan periwayat yang majhul
yang hanya dikenal keadaannya. Dan penilaian siqatnya yang hanya tersebut dalam
kitab ini menempati urutan yang paling rendah. Karena menurutnya, adil adalah
orang yang tidak diketahui cactnya, karena cacat adalah kebalikan dari adil.
Orang yang tidak diketahui cacatnya adalah adil sampai diketahui cacatnya.
b.
Tarikh Asma’al Al Siqat min Man Nuqila Anhu Al Ilm
Kitab
ini disusun oleh Umar ubn Hamad ibn Syahin (w. 385 H), berdasarkan urutan huruf
mu’jam dengan hanya menyebutkan nama periwayat dan nama bapaknya, serta
pendapat ahli jarh dan ta’dil mengenai periwayatan itu. Kadang-kadang juga
disebutkan sebagian guru dan muridnya.
3.
Kitab Jarh dan Ta’dil Mengenai Periwayatan
Daif
a.
Al du’afa’ Al Kabir dan Al Du’afa’ Al Sagir
Kedua
kitab ini karya Imam Bukhari yang termasuk kitab jarh dan ta’dil paling tua
yang sampai kepada kita. Kitab ini berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan hanya
memperhatikan huruf pertama pada setiap nama periwayat.
b.
Al Du’afa’ wa Al Matrukin
Kitab
ini karya Imam An Nasa’i (215-303 H.), disusun berdasarkan ururtan huruf mu’jam
dengan hanya memperhatikan huruf pertama pada setiap nama periwayat.
c.
Ma’rifat a’Majruhin min Al Muhaddisin
Kitab
ini karya ibn Hibban yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam, diawali
dengan muqoddimah kitab yang berisi tentang pentingnya mengetahui periwayat
daif, bolehnya menilai cacatnya periwayat, dan yang berhubungan dengan hal itu.
d.
Al Kamil fi Du’afa’ Al Rijal
Kitab
ini karya Imam Abu Ahmad Abdullah ibn Adi al-Jurjani (w. 356 H), merupakan
kitab yang besar dan luas, memuat biografi periwayat yang masih dibicarakan
kualitasnya, meski menurut pendapat yang tertolak. Kitab ini disusun
berdasarkan urutan huruf mu’jam serta dimulai dengan muqaddimah kitab yang
panjang lebar.
e.
Mizan Al Itidal fi Naqd Al Rijal
Kitab
ini karya Abu Abdullah Muhammad Ibnu Ahmad ibn Usman Al-zahabi (w. 748 H).
Sebagaimana dikatakan ibn Hajar kitab ini menghimpun 11.053 biografi
periwayat yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam dengan memperhatikan
nama periwayat dan bapaknya. Dalam kitab ini yang pertama disebut adalah nam
periwayat yang dikenal dengan nama bapaknya, nisbat atau laqobnya, periwayat
laki-laki yang tidak dikenel namanya, periwayat perempuan yang tidak dikenal
nama aslinya,n nama kunyah perempuan, kemudian periwayat perempuan yang disebut
nama aslinya.
f.
Lisan Al
Mizan
Kitab
ini karya Ibnu Hajar Al Asqalani yang disusun berdasarkan urutan huruf mu’jam
yang dimulai dari nama asli, nam kunyah, kemudian periwayat yang mubham, yang
terbagi menjadi tiga pasal, pasal pertama tentang periwayat yang menguunakan
nasab, kedua periwayat yang terkenal dengan nama kabilah atau pekerjaannya, dan
ketiga tentang periwayat yang berdasarkan pada nama lain
Tidak ada komentar:
Posting Komentar