A. Pengertian
Ilmu Hadis
Ulumul Hadis adalah istilah ilmu hadis di
dalam tradisi ulama hadits. (Arabnya: ‘ulumul
al-hadist). ‘Ulum Al Hadist
terdiri dari atas 2 kata, yaitu ‘Ulum dan
Al Hadist. Kata ‘ulum dalam bahasa arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm, jadi berarti ilmu-ilmu, sedangkan Al
Hadist berarti segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi SAW dari perbuatan, perkataan, taqir, atau sifat.”
Dengan demikian, ‘Ulum Al Hadist
adalah ilmu-ilmu yang membahas atau
berkaitan Hadis nabi SAW.
Dalam pengertian istilah para ulama ahli
Hadis memberikan pengertian ‘Ulum Al
Hadist, diantaranya :
1. Menurut
Ustadz Syamsuddin At Tabrizy dalam kitab Syarhu Ad Dibaji Al Mudzahhab
هُوَ اْلعِلْمُ بِأَقْوَالِ رَسُوْلِ اللهِ صَلْعَمْ
وَأَفْعَاِلهِ وَتَقْرِيْرَاتِهِ وَهَيْئَتِهِ وَشَكْلِهِ مَعَ أَسَاِنيْدِهَا.
وَتَمْيِيْزِ صِحَاحِهَا وَحِسَانِهَا وَضِعَافِهَا عَنْ خِلاَفِهَا مَتْنًا
وَاِسْنَاداً.
“Ilmu
pengetahuan tentang sabda, perbuatan, pengakuan, gerak-gerik dan bentuk
jasmaniah Rasulullah SAW beserta sanad-sanad (dasar penyandarannya) dan ilmu
pengetahuan untuk membedakan keshahihannya, kehasanannya dan kedhaifannya
daripada lainnya, baik matan maupun sanadnya”.
2. Menurut ulama mutaqaddimin
عِلْمٌ يُبْحَثُ عَنْ كَيْفِيَةِ اِتْصَال
اْلاَحاَدِيْثِ بِالرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ حَيْثُ
مَعْرِفَةُ اَحْوَالِ رُوَّا تِهَا ضَبْطًا وَعَدَا لَة وَمِنْ حَيْثُ كَيْفِيَةِ
السَّنَدِ اِتْصَالاً وَانْقِطَاعًا.
“Ilmu pengetahuan yang membicarakan tentang cara-cara
persambungan hadis sampai kepada Rasulullah SAW. Dari segi hal ihwal para
perawinya, kedhabitan, keadilan dan dari bersambung tidaknya sanad dan
sebagainya”.
B. Macam-macam
Ilmu Hadis
1.
Ilmu Hadis Riwayah
a.
Pengertian
عِلْمٌ يُعْرَفُ بِهِ نَقْلُ مَا أُضِيْفَ لِلنَّبِىِّ صَلْعَمْ قَوْلاً
أَوْفِعْلاً أَوْتَقْرِيْرًا أَوْغَيْرَ ذٰلِكَ وَضَبْطُهَا وَتَحْرِيْرُهَا.
“Suatu
ilmu pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan
pendewanan apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik berupa
perkataan, perbuatan, ikrar maupun lain sebagainya”.
عِلْمٌ يُشْتَمِلُ عَلَى مَا
اُضِيْفُ إِلَى النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً اَوْفِعْلاً
اَوْ تَقْرِيْراً اَوْصِفَةً
“Ilmu yang
mencakup pembahasan tentang segala sesuatu yang dinukilkan/diriwayatkan dari
Nabi SAW, baik mengenai perkataan, perbuatan, ketetapan, maupun sifat-sifat
beliau”.
Menurut
Ibn Al Akfani, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Suyuthi, bahwa yang dimaksud
Ilmu Hadis Riwayah adalah: Ilmu Hadis
yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan
(periwayatan) perkataan Nabi saw dan perbuatannya, serta periwayatannya,
pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Menurut
Muhammad ‘Ajjaj Al Khathib adalah: ilmu
yang membahas tentang pemindahan (periwayatan) segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi saw, berupa perkataan, perbuatan, taqrir (ketetapan atau
pengakuan), sifat jasmaniah, atau tingkah laku (akhlak) dengan cara yang teliti
atau terperinci.
Menurut
Zhafar Ahmad ibn Lathif Al ‘Utsmani Al Tahanawi di dalam Qawa’id fi ‘ulum al Hadist, adalah Ilmu hadis yang khusus dengan riwayah adalah ilmu yang dapat diketahui
dengan perkataan, perbuatan dan keadaan Rasulullah saw serta periwayatan,
pencatatan, dan penguraian lafaz-lafaznya.
Jadi, Ilmu
Hadis Riwayah adalah suatu ilmu
pengetahuan untuk mengetahui cara-cara penukilan pemeliharaan dan pendewanan
apa-apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, iqrar (ketetapan) maupun yang lainnya.
Ilmu
Hadis Riwayah ini sudah ada semenjak Nabi SAW masih hidup, yaitu bersamaan
dengan dimulainya periwayatan dengan hadis itu sendiri. Para Sahabat Nabi saw
menaruh perhatian yang tinggi terhadap Hadis Nabi saw. Mereka berusaha untuk
memperoleh Hadis-Hadis Nabi SAW dengan cara mendatangi Majelis Rasul SAW serta
mendengar dan menyimak pesan atau nasihat yang disampaikan beliau. Sedemikian
besar perhatian mereka, sehingga kadang-kadang mereka berjanji satu sama
lainnya untuk bergantian menghadiri majelis Nabi SAW. Tersebut, manakala di
antara mereka ada yang sedang berhalangan. Hal tersebut seperti yang dilakukan
Umar r.a., yang menceritakan, “Aku
beserta tetanggaku dari kaum Ansar, yaitu Bani Umayyah ibn Zaid, secara
bergantian menghadiri majelis Rasul SAW. Apabila giliranku yang hadir, maka aku
akan menceritakan kepadanya apa yang aku dapatkan dari Rasul SAW pada hari itu;
dan sebaliknya, apabila giliran dia yang hadir, maka dia pun akan melakukan hal
yang sama.”
Demikianlah
periwayatan dan pemeliharaan Hadis Nabi saw berlangsung hingga usaha
penghimpunan Hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar
ibn ‘Abdul ‘Aziz (99 H/717 M - 124 H/ 742 M).
b.
Obyek
pembahasan ilmu hadis riwayah
1)
Perilaku dan
sifat-sifat Nabi SAW sebagai utusan Allah SWT.
2)
Cara
periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara
penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
3)
Cara
pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan
pembukuannya.
c.
Tujuan
mempelajarai ilmu hadis riwayah adalah untuk menghindari kesalahan segala yang
diriwayatkan/dinukilkan dari Nabi SAW.
d.
Penyusun ilmu
hadis riwayah adalah Muhammad bin Shihab Az Zuhry (W. 124 H).
2.
Ilmu Hadis Dirayah/ Ilmu Mustholah Hadis
a.
Pengertian
اَلْقَانُوْنُ يُدْرَى بِهِ أَحْوَالُ السَّنَدِ وَالْمَتْنِ
وَكَيْفِيَّةُ التَّحَمُّلِ وَاْلأَدَاءِ وَصِفَةُ الرِّجَالِ وَغَيْرَذٰلِكَ.
“Undang-undang (kaidah-kaidah) untuk mengetahui hal ihwal sanad,
matan, cara-cara menerima dan menyampaikan al-Hadis, sifat-sifat rawi dan lain
sebagainya”.
عِلْمُ يُعْرَفُ بِهِ أَحْوَالُ
السَّنَدِ وَالْمَتْنِ وَكَيْفِيَّةُ التَّحَمُّلِ وَاْلأَدَاءِ وَصِفاتِ
الرِّجَالِ.
“Ilmu untuk
mengetahui keadaan sanad dan matan, cara menerima dan meriwayatkan hadis serta
sifat-sifat para perawi hadis”.
Menurut
Ibn Akfani berpendapat, ilmu hadits dirayah adalah ilmu yang dapat mengetahui hakikat riwayah, syarat-syarat, macam-macam
dan hukum-hukumnya, ilmu yang dapat mengetahui keadaan para rawi, syarat-syarat
rawi dan yang diriwayahkannya serta semua yang berkaitan dengan periwayahannya.
Menurut Muhammad ‘Ajjaj Al Khathib, Ilmu
Hadis Dirayah adalah kumpulan
kaidah-kaidah dan masalah-masalah untuk mengetahui keadaan rawi dan marawi dari
segi diterima atau ditolaknya.
Jadi,
Ilmu Hadis Dirayah adalah pengetahuan
tentang rawi dan yang diriwayahkan atau sanad dan matannya baik juga berkaitan
dengan pengetahuan tentang syarat-syarat periwayahan, macam-macamnya atau
hukum-hukumnya. Ilmu ini disebut juga Ilmu Musthalah
Hadis.
Uraian dan elaborasi dari definisi di atas
dijekaskan oleh Imam Al Suyuthi, sebagai beikut:
1)
Hakekat
Riwayat
Hakikat riwayat, adalah kegiatan sunah
(Hadis) dan penyandaran kepada orang yang meriwayatkannya dengan kalimat
tahdits, yaitu perkataan seorang perawi “haddatsana
fulan”, (telah menceritakan kepada kami si Fulan), atau Ikhbar, seperti perkataannya “akhbarana fulan”.
2)
Syarat
Riwayat
Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para
perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu
dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul
al Hadits), seperti sama’ (perawi
mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru), qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan
guru tersebut), ijazah (memberi izin
kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa
dibacakan sebelumnya), kepada seorang untuk diriwayatkan), kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang), munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang
untuk diriwayatkan), kitabah, (menuliskan hadis untuk seseorang), i’lam (memberitahu seseorang bahwa
Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya), washiyyat
(mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan wajadah
(mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
3)
Mutthasil
Muttashil, yaitu periwayatan yang bersambung
mulai dari perawi pertama sampai perawi terakhir, atau munqathi’, yaitu periwayatan yang terputus, baik di awal, di
tengah, ataupun di akhir, dan lainnya.
4)
Hukum
Riwayat
Hukum riwayat, adalah Al Qabul, yaitu diterimanya suatu riwayat karena telah memenuhi
persyaratan tertentu, dan Al Radd,
yaitu ditolak, karena adanya persyaratan tertentu yang tidak terpenuhi.
5)
Keadaan
Periwayat Hadis
Al
Rawi atau perawi, adalah orang yang meriwatkan
atau menyampaikan Hadis dari satu orang kepada yang lainnya; Al Marwi adalah segala sesuatu yang
diriwayatkan, yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw atau kepada
yang lainnya, seperti sahabat atau yang lainnya Tabi’in, keadaan perawi dari segi diterima atau ditolaknya adalah,
mengetahui keadaan para perawi dari segi jarh
dan ta’dil ketika tahammul dan adda’ Al Hadist, dan
segala sesuatu yang berhubungan dengannya dalam kaitannya dengan periwayatan
Hadis, keadaan marwi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan ittishal Al Sanad (persambungan sanad) atau
terputusnya, adanya ‘illat atau
tidak, yang menentukan diterima atau ditolaknya suatu Hadis.
Keadaan para perawi, maksudnya adalah,
keadaan mereka dari segi keadilan mereka (Al
’Adalah) dan ketidakadilan mereka (Al
Jarh). Syarat-syarat mereka, yaitu syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang perawi ketika mereka menerima riwayat (syarat-syarat pada tahammul) dan syarat ketika menyampaikan
riwayat (syarat pada Al Adda’).
6)
Jenis
Riwayat
Jenis yang diriwayatkan (Ashnaf Al Marwiyyat), adalah penulisan Hadis di dalam kitab Al Musnad, Al Mu’jam, atau Al Ajza’ dan lainnya dari jenis-jenis
kitab yang menghimpun Hadis Nabi saw.
b.
Obyek
pembahasan ilmu hadis dirayah adalah penelitian terhadap segala yang
berhubungan dengan sanad, matan dan rawi.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
1)
Segi
persambungan sanad
Segi persambungan sanad (ittishal al sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis
haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang
menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan
suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui
identitasnya atau tersamar.
2)
Segi
kepercayaan sanad
Segi kepercayaan sanad (tsiqat al sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad
suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau
dokumentasi Hadisnya ).
3)
Segi
keselamatan dan kejanggalan (syadz);
4)
Keselamatan
dan cacat (‘illat);
5)
Tinggi
dan rendahnya martabat suatu sanad.
Sedangkan pembahasan mengenai matan adalah
meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat
dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam Al Qur’an,
yakni :
1)
Dari
kejanggalan redaksi (rakakat al faz)
2)
Dari
cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad
al ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan
kandungan dan makna Al Qur’an, atau dengan fakta sejarah.
3)
Dari
kata-kata asing (gharib), yaitu
kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
c.
Tujuan
mempelajari ilmu hadis dirayah adalah untuk mengetahui derajat keabsahan hadis
sebagai dasar hukum agama (shahih, hasan dan dhaif), dan mengetahui seluk-beluk
para perawi dalam meriwayatkan hadis, baik jumlah, keadaan, sifat dan sampainya
periwayatan itu kepada Nabi SAW. Atau untuk mengetahui dan menetapkan
Hadis-Hadis yang maqbul (yang dapat diterima sebagai dalil atau untuk
diamalkan) dan yang mardud (yang ditolak).
d.
Penyusun Ilmu
Hadis Dirayah adalah Abu Muhammad Hasan bin Abdurrahman Ar Rumuharmuzi (W. 360
H.).
C. Penyusun
Ilmu Hadis
1.
Muhammad bin Shihab Az Zuhry
Nama sebenarnya adalah Muhammad bin Muslim
bin Abdullah. Ia tinggal di Ailah sebuah desa antara Hijaz dan Syam,
reputasinya menyebar sehingga ia menjadi tempat berpaling bagi para ulama Hijaz
dan Syam. Selama delapan tahun Ibnu Syihab Az Zuhri ia tinggal bersama Sa’id
bin Al Musayyab di sebua desa bernama Sya’bad di pinggir Syam. Disana pula ia
wafat pada tahun 123 H, sebagian menyatakan wafat tahun 125 H.
Ia membukukan banyak hadits yang dia dengan
dan dia himpun. Berkata Shalih bin Kisan:” Aku menuntut ilmu bersama Az
Zuhri, dia berkata: mari kita tulis apa yang berasal dari Nabi Shallallahu
alaihi wassalam, pada kesempatan yang lain dia berkata pula: “Mari kita tulis
apa yang berasal dari Sahabat”, dia menulis dan aku tidak. Akhirnya dia berhasil
dan aku gagal”.
Kekuatan hapalan dan kecermatan Az Zuhri
dapat disimak oleh Hisyam bin Abdul Malik pernah ia meminta untuk mendiktekan
kepada beberapa orang anaknya, dan az-Zuhri ternyata mampu mendiktekan 400
hadits. Setelah keluar dari rumah Hisyam dan kepada yang lainpun ia
menceritakan 400 hadits tersebut. Setelah sebulan lebih ia bertemu lagi dengan
Az Zuhri, Hisyam berkata kepadanya “Catatanku dulu itu telah hilang “,
kali ini dengan memanggil Juru tulis Az Zuhri mendiktekan lagi 400 hadits tersebut.
Hisyam mengagumi kemampuan Az Zuhri,.
Kecermatan dan penguasaan hadits oleh Az
Zuhri membuat Amr bin Dinar mengakui keutamaanya dengan berkata :”Aku tidak
melihat ada orang yang yang pengetahuannya terhadap hadits melebihi az-Zuhri”.
Az Zuhri memang selalu berusaha keras untuk
meriwayatkan hadits, ada yang berkata bahwa Az Zuhri menghimpun hadits jumlahnya mencapai 1.200 hadits, tetapi
yang musnad hanya separuhnya.
Az Zuhri meriwayatkan hadits bersumber dari
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Ja’far, Shal bin Sa’ad, Urwah bin Zubair, Atha’
bin Abi Rabah. Ia juga mempunyai riwayat riwayat yang mursal dari Ubadah bin
Shamit, Abu Hurairah, Rafi’ bin Khudaij, dan beberapa lainnya.
Imam bukhari berpendapat bahwa sanad Az Zuhri
yang paling shahih adalah Az Zuhri, dari Salim, dari ayahnya. Sedangkan Abu
Bakar bin Abi Syaibah menyatakan bahwa sanadnya yang paling shahih adalah Az
Zuhri, dari Ali bin Husain, dari bapaknya dari kakeknya (Ali bin Abi Thalib)”.
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin
Abdul Aziz yang dinobatkan akhir abad pertama Hijriyah, yakni tahun 99
Hijriyah, mendukung kelestarian hadits. Beliau sangat waspada dan sadar bahwa
para perawi yang mengumpulkan hadits dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya
karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan
dibukukan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, mungkin hadits itu
akan lenyapnya dari para penghapalnya. Khalifah Umar bin Abdu bin Aziz
memerintahkan guberbur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm untuk
membukukan hadits-hadits Nabi dari para penghafal.
Pengumpulan Hadits khususnya di Madinah ini
belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm dan
akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab Az Zuhri
(w. 124) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab Az Zuhri. Beliaulah sarjana
Hadits yang paling menonjol di jamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd Al
Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau.
Menurut para ulama hadits-hadits yang
dihimpun oleh Abu Bakar ibn Hazm masih kurang lengkap, sedangkan hadits-hadits
yang dihimpun Ibnu Shihab Az Zuhri dipandang lebih lengkap. Akan tetapi sayang
sekali karena karya kedua tabi’in ini lenyap sehingga tidak sampai kepada
generasi sekarang.
Al Zuhri dengan usahanya tersebut dipandang
sebagai pelopor Ilmu Hadis Riwayah; dan dalam sejarah perkembangan Hadis, dia
dicatat sebagai ulama pertama yang menghimpun Hadis Nabi SAW.
2.
Abu Muhammad Hasan bin Abdurrahman Ar
Rumuharmuzi
Namanya adalah Al Qadhi Abu Muhammad Al Hasan bin Abdurrahman bin Khalad Ar Rumuharmuzi. Tahun kelahirannya tidak disebutkan secara
ekspelesit oleh para ahli sejarah, namun dari riwayat perjalanan hidupnya dan
kegiatan periwayatan hadits yang dilakukannya, Ajjaj Al Khathib menyimpulkan
bahwa Ia lahir sekitar tahun 265. dan meninggal dunia pada tahun 360 H
Ar Rumuhurmuzi adalah seorang ulama besar dan
terkemuka dalam bidang hadits pada zamannya, dan beberapa karyanya muncul
seiring dengan kebesarannya dalam bidang hadits tersebut. Al Sam’ani berkata, “Dia adalah seorang yang termuka dan banyak
pembendaharaannya dalam hadits. Komentar dari Adz Dzahabi yang mengatakan,
“Ar Rumuhurmuzi adalah seorang imam
hafiz, seorang muhaddist non Arab, dia menulis, menyusun dan melahirkan
berbagai karya ilmiah mengikuti jejak para ulama hadits dan juga ahli syi’ir,
kemudian, dari segi kualitas pribadinya dia adalah seorang yang hafizh, tsiqat,
ma’mun dan melalui kesan-kesan, pengalaman dan peninggalan karya ilmiahnya,
dapat disimpulkan bahwa dia adalah seorang yang terpelihara muru’ah-nya, mulia
akhlaknya dan bagus kepribadiannya”.
Diantara para gurunya dalam bidang hadits
adalah ayahnya sendiri, yakni Abd Ar Rumuharmuzi meninggal dunia pada tahun 360
H, Abu Hushain Muhammad ibn Al Husain Al Wadi’i (W. 296 H), Abu Ja’far Muhammad
Ibn Al Husain Al Khats’ami (221-315 H), Abu Ja’far Umar ibn Ayyub Al Saqthi (W.
303 H), dan lain-lain. Sedangkan diantara para muridnya yang meriwayatkan
hadits-haditsnya adalah Abu al-Husain Muhammad ibn Ahmad Al Shaidawi, Al Hasan
ibn Al Laits Asy Syirazi, Abu Bakar Muhammad ibn Musa ibn Mardawaih, Al Qadhi
Ahmad ibn Ishaq Al Nahawindi, Abu Al Qasim Abdullah bin Ahmad ibn Ali Al
Baghdadi, dan lain-lain.
Ilmu dirayah menjadi alat bagi ilmu riwayah.
Sekalipun ilmu dirayah telah menjadi pembahasan para ulama sejak abad ke-2 H,
namun ilmu ini belum dibahas secara khusus dalam sebuah kitab tertentu.
Pada abad keempat dan kelima hijrah mulailah
ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang Ilmu Hadis yang
bersifat komprehensif. Selanjutnya, pada abad setelah itu mulailah bermunculan
karya-karya di bidang Ilmu Hadis ini yang sampai saat ini masih menjadi
referensi utama dalam membicarakan ilmu hadis adalah Ar Rumuharmuzi kitabnya Al Muhaddits al Fashil Baina al Rawi wa al Wa’i.
(ahli hadis yang membedakan antara perawi dan pemelihara hadis). Buku ini
dipandang sebagai karya Ar Rumuharmuzi terlengkap mengenai ilmu hadis.
Kitab ini merupakan kitab terbesar dalam
bidangnya sampai saat itu. Pembahasanya mencakup tata tertib rawi dan muhaddis,
tehnik penerimaan dan penyampaiaan hadis, kesungguhan ulama dalam mengemban
ilmu ini, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan disiplin ilmu hadis.
Selain tersebut, Ar Rumuharmuzi juga menulis
sejumlah kitab, yang diantarannya adalah : Adab
Al Muwa’id, Abad Al Nathiq, Imam al Tanzil fi Al Qur’an Al Karim, Amtsal An
Nabawi, Al Illal fi Mukhtar Al Akhbar .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar